Foto: Salim Syarif, warga yang tinggal di gubuk reot di tepi sungai desa Rensing Bat, Lombok Timur |
Lombok Timur - Sungguh miris, ditengah gencarnya pemerintah memberantas hunian kumuh melalui program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), masih ditemukan ada warga yang tinggal di gubuk reot yang sama sekali tidak layak ditinggali oleh manusia.
Hal tersebut dialami Salim Syarif 53 tahun warga dusun Timuk Rurung, Desa Rensing Bat, Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur. Karena ketidakmampuan ekonomi, ia tinggal di bawah rumpun pohon bambu di tepi sungai desa setempat dengan membangun tempat tinggal sangat sederhana yakni gubuk reot.
Gubuk reot yang ditinggali Salim ini, memiliki tinggi tak lebih dari 2 meter, tiang hanya menggunakan bambu seadanya, kemudian hanya beratapkan kain, karpet, pelastik dan pelepah daun kelapa, sehingga tak hayal, rumah yang tempati itu sering mengalami kebocoran ketika hujan turun. Sehinggan saat turun hujan, ia terpaksa harus menumpang tidur di teras rumah kerabatnya.
Mirisnya, Salim menjalani kehidupan seperti itu sudah puluhan tahun lamanya. Hanya saja, sering berpindah-pindah tempat. Gubuk reot yang menjadi tempat tinggalnya saat ini sudah setahun lebih ditempati.
"Sudah pulahan tahun saya begini, tapi kalau tinggal disini (gubuk reotnya itu, Red) sudah setahun lebih," Ungkapnya.
Salim sendiri memiliki saudara yang juga tinggal di Desa tersebut, namun ia menolak untuk tinggal bersama saudara, lantaran merasa malu dan tidak ingin merepotkan saudara yang sudah memiliki rumah tangga.
"Saya malu untuk menyusahkan orang lain," ucap salim sembari memilah biji kapas yang ada ditangannya.
Diketahui, Salim juga pernah menjalin bahtera rumah tangga, namun sayangnya hal itu tidak berlangsung lama dan tidak memiliki buah hati.
Sebenarnya, Salim memiliki sebidang tanah dan tanah miliknya itu sudah digadaikan ke saudaranya untuk untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.
Saat ini untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, Salim mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual. Dalam sehari, terkadang ia mampu mengumpulkan uang dari hasil menjual barang bekas sebesar Rp. 5.000. Bahkan dalam sehari, uang Rp. 5000 belum tentu juga didapatkannya.
"Kalau ada rezeki saya beli nasi, kalau tidak ada terpaksa menahan lapar. Kadang-kadang juga dibawain sama saudara. Tapi makanan yang dibawakan itu tetap saya bayar, karena saya merasa malu dan tidak ingin menyusahkan orang lain," ucapnya.
Kendati memiliki saudara, Salim mengaku malu dan tidak ingin merepotkan saudaranya. Sehingga ia lebih baik memilih tinggal di gubuk reot yang ia buat dipinggir sungai.
"Sering dia (saudaranya Salim, Red) kesini, tapi saya tidak mau merepotkan dia, dia juga udah berkeluarga," imbuhnya.
Duda (53) tanpa anak itu juga tidak bisa membantah bahwa dirinya mendapatkan bantuan dari Pemerintah Desa (Pemdes) setempat. Ia juga berharap kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lotim untuk membuatkannya rumah yang layak.
Sementara itu, Sekretaris Desa (Sekdes) Rensing Bat, Hadianto mengungkapkan bahwa, yang menjadi persoalan dari mantan TKI itu hanya tempat tinggalnya saja.
"Yang menjadi persoalan saat ini rumah saja, tidak ada masalah lain," sebutnya.
Adapun untuk bantuan yang didapati berupa Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial (Kemensos). Namun sambungnya, bantuan itu sudah tidak lagi didapati karena bantuan itu sendiri sudah tidak ada lagi Kemensos.
"Cuma BST ini yang didapati, yang lainnya tidak ada," ucapnya.
Pihaknya juga akan terus mengupayakan agar membangunkan mantan TKI itu rumah yang layak. Ia juga menjalaskan jumlah masyarakat yang mendapatkan Rumah Tidak Layah Huni (RTLH) berjumlah 6 orang.
"2 orang di dusun ini (Timuk Rurung, Red) dan sisanya masing-masing satu disetiap dusun," tutupnya. (Red)