DP3AKB Lotim Keluhkan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Jarang Masuk Meja Sidang

 

Foto : Kadis DP3AKB Lombok Timur H. Ahmat 

Lombok Timur - Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, H. Ahmat mengeluhkan penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH) minim sampai ke meja persidangan. Dampaknya banyak pelaku kekerasan terbebas dari pidana penjara. 

Menurutnya, penanganan hukum kasus kekerasan perempuan dan anak oleh APH belum maksimal, karena dari kasus yang sudah di coba dilaporkan, jarang sekali yang berakhir dengan pidana.

Dijelaskan Ahmat, dari 20 lebih kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan ke kepolisian, hanya satu dua perkara yang masuk ke meja pengadilan. Kebanyakan kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan dengan cara mediasi antara pihak korban dan pelaku.

"Jauh dari jumlah yang kita laporkan hanya satu dua yang berakhir di pengadilan," terangya kepada awak media, Jumat (06/01/23).

Selain mengeluhkan persoalan hukum, H Ahmat juga mengakui keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 masih mandul. Hal itu karena dalam perda tersebut tidak ada sanksi hukum.

"Karena tidak ada sanksi, kita hanya berharap pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk menghukum pelaku," jelasnya.

Bukan hanya mengeluh persoalan penegakan hukum oleh APH, serta Perda, H Ahmat juga mempertanyakan Peraturan Desa (Perdes) yang telah dibuat oleh pemerintah desa. Menurutnya dari total 254 desa dan kelurahan Perdes tersebut tidak terlalu berdampak terhadap pencegahan kasus kekerasan perempuan dan anak, hal itu karena banyak masyarakat yang tidak tahu.

"Ini Perdes tidak pernah disosialisasikan gimana masyarakat tahu ada Perdes tentang kekerasan perempuan dan anak,". Jelasnya.

Lambatnya proses penegakan hukum, serta tidak efektifnya regulasi Perda maupun perdes menyebabkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat 100 persen di Lombok Timur. Data Tahun 2021 sebanyak 40 kasus kekerasan, di tahun 2022 naik menjadi 80 kasus.

Peningkatan kasus itu juga disebabkan karena masyarakat saat ini sudah berani untuk melapor, setelah pihak DP3AKB mengeluarkan nomor telepon aduan. Dampak dari dibukanya nomor telepon aduan itu, angka kasus kekerasan perempuan dan anak paling tinggi di 10 Kabupaten Kota di NTB.

"kita paling tinggi angka kasus kekerasan perempuan dan anak, tapi itu beruntung karena masyarakat sudah mulai berani melapor," pungkasnya.(INTB)


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama