Foto : Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra |
Bandung - Penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu) No 2 Tahun 2022 tentang cipta kerja oleh Presiden, mendapat penolakan keras dari berbagai pihak utamanya dari kalangan buruh.
Penerbitan Perpu tersebut dinilai telah melanggar konstitusi sehingga bisa menjadi alasan pemakzulan Presiden.
Apakah dengan menerbitkan Perpu untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, telah cukup alasan untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden?
Dikutif dari laman Facebook Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Kalau dirujuk kepada 7 alasan pemakzulan Presiden sebagaimana diatur Pasal 7A dan 7B UUD 45, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tidak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, penerbitan Perpu untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tersebut nampaknya masih jauh dari memenuhi kriteria alasan pemakzulan.
"Lain halnya jika politik ikut bermain, misalnya DPR menolak pengesahan Perpu tersebut dan DPR berpendapat bahwa isi Perpu tersebut melanggar UUD 45, pintu pemakzulan menjadi mungkin," Jelasnya.
Lanjut Prof Yusril, tetapi masalahnya tidaklah sesederhana itu. Sebab, dengan amandemen UUD 45, kekuasaan membentuk undang-undang bukan lagi pada Presiden dengan persetujuan DPR, melainkan sudah bergeser menjadi kekuasaan DPR dengan persetujuan Presiden.
Maka, untuk melaksanakan Putusan MK yang memerintahkan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun, lembaga yang pertama-tama harus memperbaiki UU Cipta Kerja itu sesungguhnya adalah DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Sementara sudah lebih setahun perintah itu diberikan MK, sejak November 2021, tidak terlihat upaya apapun dari DPR untuk mengambil prakarsa memperbaiki UU Cipta Kerja itu.
"Nah, ketika Presiden mengambil prakarsa menerbitkan Perpu untuk memperbaikinya, lantas apakah DPR punya rasa percaya diri untuk menyalahkan Presiden dan berusaha memakzulkannya? Tindakan DPR seperti itu akan menjadi seperti kata dalam peribahasa Melayu: bagai memercik air di dulang, akhirnya terkena muka sendiri," tutupnya. (INTB)