Foto : Ali Bin Dachlan |
Lombok Timur - Rektor Universitas Gunung Rinjani, Dr. H. Moch. Ali Bin Dachlan, mengkritisi sentralisasi kewenangan oleh pemerintah pusat.
Sejak diundangkannya Undang-undang (UU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan dampak buruk terhadap daerah. Pemerintah Daerah kini kesulitan membuat keputusan yang menyangkut wilayahnya, karena terkendala dengan kewenangan pemerintah pusat.
Dampak dari kebijakan sentralistik pemerintah pusat ini berakibat buruk bagi pemerintah daerah, termasuk pemerintah Provinsi NTB yang saat ini mengalami kesulitan membuat keputusan terhadap sejumlah kasus.
Ali BD menyebut salah satu contohnya adalah kesulitan Gubernur dalam membuat keputusan terhadap kasus di Gili Terawangan, Meno dan Air (Teramena). Dulunya, berdasarkan UU, kewenangan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Namun kini sudah ditarik oleh pemerintah pusat dan itu sangat mempersulit Pemda.
Menurut Ali BD, sapaan akrab Bupati Lotim dua periode ini, diambil alihnya kawasan pantai pesisir dan pulau kecil, tersebut menyebabkan kesulitan Pemerintah Daerah untuk mengambil keputusan, terutama menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah tersebut.
Salah satu contohnya di gili Terawangan. Menurut Ali BD, ini merupakan dampak ikutan yang terjadi di daerah. Gubernur NTB disebut pasti akan kesulitan mencari keputusan karena orang-orang yang sudah menempati Gili Terawangan itu diketahui sudah lama jauh sebelum undang-undang berlaku.
“Bagaimana dengan orang-orang yang sudah tinggal 30 tahun atau lebih menempati lahan itu?,” ungkapnya .
Menurut Ali BD, karena seseorang yang lebih dari 30 tahun menempati suatu tempat maka sah dia berhak menguasai lahan tersebut. Termasuk warga yang menempati gili terawangan cukup lama, berhak juga memiliki Sertifikat Hak Milik.
Sesuai Undang-undang agraria, orang yang udah tinggal lebih dari 25 tahun dengan itikad baik, maka maka berhak memiliki lahan tersebut.
“Itulah tempat Kesulitan Gubernur untuk membuat keputusan, satu sisi dia digeret oleh aturan kewenangan pusat, dilain pihak warga sudah cukup lama menempati lahan tersebut,” imbuhnya.
Bupati Lotim dua periode ini mengatakan, Contoh kasus lainnya yang terjadi akibat dampak sentralisasi ini, adalah kasus pasir besi di Lombok Timur. Izin penambangan pasir besi ini, dulu menjadi kewenangan Kabupaten Lotim. Namun karena alasan Undang-undang hal itu lalu menjadi kewenangan pertambangan ditarik ke pemeirntah pusat.
"Kondisi ini jelas yang menyebabkan dualisme perizinan, satu izin lama dikeluarkan Bupati lama dan satu lagi kewenangan pemerintah pusat atau provinsi. Jadi ini juga sangat menyulitkan bagi pemerintah daerah Provinsi untuk mengambil keputusan,” ujarnya.
Lebih jauh soal pasir besi, izin yang dikeluarkan oleh Bupati H. M. Sukiman Azmy itu berlaku 16 tahun. Setelah lewat dari 16 tahun itulah baru menjadi kewenangan pemerintah provinsi atau pusat. Diakui, saat menjadi Bupati Ali BD pernah membuatkan surat relokasi kawasan pertambangan. Surat relokasi itu merupakan usulan dari pihak penambang. Akan tetapi, surat relokasi itu dikatakan bukan merupakan bagian dari perizinan karena didalamnya tidak mencantumkan batasan waktu seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah dikeluarkan Bupati sebelumnya. (INTB).