Foto : Pimpinan Bawaslu mengikuti rapat pleno terbuka KPU tentang penetapan DPS |
Lombok Timur - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lombok Timur, angkat kaki dari sidang pleno terbuka Daftar Pemilih Sementara (DPS) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lombok Timur, Rabu (5/4/2023).
Bawaslu angkat kaki, karena menolak data DPS yang diplenokan KPU, karena tidak sesuai dengan hasil rekapitulasi oleh masing-masing Panitia Pemilih Kecamatan (PPK).
Ketua Bawaslu Lombok Timur DR. Retno Senopati mengatakan, pihaknya angkat kaki dari Pleno KPU, karena pihak KPU berbicara DPS versi peribadi. Karena dalam pleno KPU tentang penetapan DPS tersebut, KPU tidak berdasarkan hasil rekapitulasi masing-masing PPK.
"Kita harus bicara tentang kronologis data. Dimulai dari Pantarlih yang melakukan coklit, kemudian hasil itu diplenokan di tingkat PPS ada berita acara PPS, dan selanjutnya di Plenokan di tingkat PPK, nah sampai di KPU Kabupaten ternyata itu data tidak di Plenokan," ujarnya.
Dijelaskan Retno, Hasil rekapitulasi Bawaslu berdasarkan data rekapitulasi PPK jumlah DPS sebanyak 999.900. Tetapi jumlah DPS yang disampaikan oleh KPU dengan hasil pleno di tingkat PPK, ternyata berbeda 180 derajat. Bahkan bukan hanya berbeda dengan data Bawaslu tetapi data pleno tersebut juga berbeda dengan data yang dipegang oleh PPK.
Menurut Retno, perubahan data hanya boleh dilakukan KPU di ruang pleno terbuka bukan dilakukan secara pribadi kelembagaan. Karena seharusnya PPK satu persatu masuk mempresentasikan hasil rekapitulasinya, kemudian itu yang ditetapkan oleh KPU.
"Data siluman yang kita lihat tadi itu, kenapa data siluman, karena data yang didasarkan pada pleno, tanda tangan dan stempel basah itu beda. Data yang dipegang Bawaslu beda, jangankan bawaslu data yang dipegang PPK bahkan juga sudah beda," tegasnya.
Karena sumber data tidak sesuai, pihak Bawaslu menolak hasil DPS yang ditetapkan KPU, untuk itu pihak Bawaslu merekomendasikan Pleno ulang dalam jangka waktu 2 kali 24 jam. Pleno ulang yang dimaksud dari tingkat PPK sampai tingkat KPU. Jika tidak dilaksanakan maka mekanisme tetap dilakukan, yaitu masuk pada pola pelanggaran, yang bisa berakhir pidana.
"Output pelanggaran itu, yaitu administrasi, etik dan pidana, jika pidana itu terancam 3 tahun penjara dan denda 36 juta rupiah," tegasnya.
Sementara itu, Menanggapi sikap Bawaslu, Ketua KPU Lombok Timur DR. Junaidi membantah ada perbedaan data. Dalam pleno tersebut pihaknya tetap berdasarkan hasil data rekapitulasi PPK. Tetapi sebelum data rekapitulasi PPK ditetapkan sebagai DPS terlebih dahulu dilakukan pencermatan data melalui aplikasi Sistim Informasi Data Pemilih (Sidalih).
Junaidi membenarkan data Bawaslu sejumlah 999.900 tersebut, tetapi itu merupakan Daftar Pemilih Hasil Pemutahiran (DPHP) yang belum dilakukan pencermatan melalui aplikasi si dalih, sehingga belum dianggap valid.
"Data DPHP itu yang diproses melalui aplikasi Sidalih, nah hasilnya menjadi 997544, data ini yang kemudian menjadi dasar kita menjadi DPS," jelasnya.
Dijelaskan Junaidi, berdasarkan PKPU RI No 27 Tahun 2023 tentang tata cara pemutakhiran data Pemilih, DPS itu tidak bisa ditetapkan berdasarkan DPHP, tetapi harus disinkronkan melalui aplikasi Sidalih.
"Aplikasi Sidalih ini yang nanti menyaring persoalan anomali data dan NIK ganda, sehingga data DPS benar benar valid " ungkapnya.
Sementara itu, menyikapi tidak setujunya Bawaslu atas hasil pleno tersebut, Junaidi mengatakan itu tidak masalah, karena hasil Pleno tetap bisa ditetapkan tanpa harus melalui persetujuan Bawaslu. Karena berdasarkan PKPU No 8 tahun 2019 tentang tata kerja, pleno KPU dianggap sah apabila di hadiri tiga orang dari lima anggota KPU.
"Tanpa Bawaslu data hasil pleno DPS itu tetap sah," pungkasnya. (INTB)